Kami sedang menunggu buku ketujuh kami tentang "Mbah Mutamakin"

Jumat, 29 Mei 2009

Syeh Siti Jenar dan Peran Politiknya

Masa muda Syeh Siti Jenar dialaminya di Cirebon, karena beliau dilahirkan di daerah itu. Ketika masa remajanya berlalu, maka ia pun mengembara mencari pemahaman ilmu agama hingga ke Demak. Pada saat itu, keraton Demak Bintoro dipimpin oleh rajanya yang bernaama Pati Unus. Sueh Siti Jenar berjumpa para wali yang mengajari ilmu agama kepadanya, yang kemudian memberikan kesempatan kepadanya untuk mengajarkan apa yang dipahaminya itu kepada santri-santri muda di Demak. Wali-wali yang menjadi guru Syeh Siti Jenar itu adalah Syeh Maulana Maghribi dan Syeh Maulan Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Dalam perjalanan meniti ilmu agama itu, beliaupun bertemu dengan Sunan Bonang, namun hanya sebentar saja.

Pergaulannya Syeh Siti Jenar di Demak termasuk sangat luas. Ia akrab dengan para wali, para petinggi pemerintahan Demak (bahkan rajanya sendiri sangat akrab dengan beliau), juga para pedagang yang berasal dari negeri semenanjung Arab, seperti Persia, Yaman, juga para pedagang Gujarat, dan sebagainya. Pergaulan yang luas ini semakin meningkatkan pengetahuannya karena banyaknya informasi yang dicerap dari pergaulannya itu. Informasi yang sangat menarik perhatiannya adalah ceritera tentang kearifan sufistik dan juga kelebihan-kelebihan atau karomah-karomah yang berkaitan dengan para sufi. Ketertarikannya itu membawanya menyeberang hingga ke Bagdad, melalui Demak.

Syeh Siti Jenar berangkat ke Bagdad sendirian melalui Demak. Jalur itu dipilihnya karena Demak ketika itu memiliki pelabuhan besar yang menghubungkan jalur-jalur internasional. Selain itu, memang beliau saat itu berada dan tinggal di Demak. Sesampainya di Bagdad, Syeh Siti Jenar justru tidak mempelajari praktek tarekat, namun menyibukkan diri mempelajari pustaka-pustaka keagamaan yang tersedia di perpustakaan kota Bagdad yang berjumlah sangat banyak dan tertata rapi. Ia bahkan sempat membaca mushab asli al-Qur'an yang di simpanh di perpustakaan itu. Tulisan-tulisan al-Halaj juga dipelajari, begitu pula tulisan dari Syeh Abdul Qodir Jailani.

Meskipun ia telah mempelajari ilmu-ilmu yang ada pada berbagai literatur itu, namun ia tidak tertarik mengembangkan sesuai dengan literatur itu. Alasannya adalah, ajaran seperti al Halaj, misalnya, tidak sesuai dengan kultur Jawa yang telah dikenalnya. ajaran al-Halaj menurutnya terlalu keras, dan itu tidak baik bagi masyarakat Jawa. Akhirnya ia meramu sendiri sesuai dengan pemikiran dan pemahamannya, menjadi ajaran sendiri yang disesuaikan dengan kultur Jawa. Ajaran ini dikemasnya dalam tafsir al Ikhlas, yang dikembangkan melalui dakwahnya, yang intinya adalah ketauhidan. Ketauhidan yang diajarkan menenkankan pada penyatuan antara pengetahuan dan tindakan, tidak hanya sebatas pemahaman belaka. Pencapaian puncak pendakian ketauhidan inilah yang dituju, yang dinamainya dengan sebutan manunggaling kawulo gusti.

Dalam proses pengajaran ajarannya itu, Syeh Siti Jenar akhirnya berbenturan dengan para wali, yang tidak sepakat dengan cara-cara penyampaiannya. Para wali umumnya memaklumi inti ajarannya, hanya saja tidak setuju dengan cara penyampaiannya yang secara vulgar dan menggeneralisir, tanpa memandang kesiapan mental dan pemahaman dari anak didiknya. Para wali lebvih menginginkan agar Syeh Siti Jenar menyebarkan ilmu itu secara khusus dengan memperhitungkan kadar pengetahuan dan keimanannya agar tidak dicerna mentah dan kemudian menyesatkan. Pendapat para wali ini tidak disepahami. Syeh Siti Jenar kukuh pada pendapatnya bahwa semua orang berhak mendapat pengajaran yang sama, baik materi maupun caranya. Karena pengetahuan itu adalah hak siapa saja.

Keteguhan Syeh Siti Jenar ini kemudian mendapat serangan yang sama dari kaum pendatang dari Yaman, yang ketika itu selain berdagang juga menyebarklan agama Islam. Orang-orang dari Yaman pada waktu itu bersikeras untuk melakukan pemurnian Islam seperti apa yang terjadi di negerinya sana. Upaya pemurnian ini dilakukan secara gebyah uyah tanpa memperhatikan kondisi sosial dan budaya setempat. Akhirnya, orang-orang Yaman ini selain berbenturan dengan Syeh Siti Jenar, juga berbenturan dengan para wali dan para petinggi kerajaan Demak Bintoro, yang secara perlahan dan sabar menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya. Benturan-benturan ini sempat menimbulkan terhentinya perputaran roda perekonomian, karena orang Yaman, yang ketika itu memonopoli jalur perdagangan internasional, melakukan embargo ekonomi. Namun demikian, ketika itu, Trenggono, seorang raja baru di negeri Demak mengambil kebijaksanaan dengan cepat dan tepat, sehingga perputaran roda perekonomian berjalan kembali, dan akibat politiknya itu, orang-orang Yaman yang beraliran keras meninggalkan Demak, kembali ke Malaka dan Gujarat, bahkan kampung halamannnya. Meskipun tidak didahului dengan peperangan.

(kisahnya akan bersambung.....selamat membaca....)